Lebih Dulu Mengevaluasi Diri sebagai Suatu Kebijaksanaan

Menilai orang lain itu biasanya lebih mudah daripada menilai diri sendiri. Menghakimi orang lain juga sangat mudah sekali. Demikian juga melihat kekurangan orang lain selalu lebih gampang daripada melihat kekurangan diri sendiri. Dalam pengalaman hidup kita sering mengalami hal seperti itu. Mungkin orang lain yang melihat kekurangan diri kita, atau kita sendiri yang mudah melihat kekurangan orang lain. Biasanya jika kita lebih dulu melihat kekurangan orang lain, misalnya penampilannya, kita susah untuk memberi pujian atau apresiasi. Demikian halnya dalam pekerjaannya. Jika hal seperti ini yang lebih cenderung atau sering terjadi dalam hidup kita, maka bisa dikatakan mungkin kita melihat orang lain secara negatif atau kita lebih berpikir negatif. Dan jika kita lebih sering berpikir negatif, maka mungkin kita akan sering-sering atau mudah membenci orang lain karena hanya melihat kekurangannya sementara kekurangan diri sendiri tidak lihat. Sikap hidup seperti ini bukanlah sikap hidup yang berkeutamaan.

Dalam Injil Lukas 6:39-42 yang dibacakan dalam Perayaan Ekaristi hari ini, Yesus memberi para murid-Nya pelajaran hidup yang berharga lewat suatu perumpamaan: “Mungkinkah seorang buta membimbing orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lubang?” Hal itu rasanya benar sekali. Tidak mungkinlah yang buta menuntun yang buta. Hal itu bisa diterapkan dalam artian yang lebih luas. Di beberapa lampu merah kita bisa melihat ada orang buta yang meminta-minta. Mereka dipandu oleh orang lain yang bisa melihat. Perumpamaan yang disampaikan oleh Yesus itu berhubungan dengan pengajaran-Nya selanjutnya: “Mengapakah engkau melihat selumbar dalam mata saudaramu, sedangkan balok dalam matamu sendiri tidak kauketahui? Bagaimana mungkin engkau berkata kepada saudaramu, ‘Saudara, biarlah aku mengeluarkan selumbar dalam matamu,’ padahal balok dalam matamu tidak kaulihat?” Kecenderungan manusia adalah melihat selumbar dalam mata orang lain.

Pengajaran Yesus di atas sebetulnya mau mengubah kebiasaan yang tidak baik khususnya kecenderungan pada jaman itu, yakni mudah menilai dan menghakimi orang lain tanpa melihat diri sendiri. Kecenderungan yang sama masih juga bisa kita temukan di masa sekarang ini. Oleh karena itu, pengajaran Yesus tadi sangat relevan, mencahayai hidup kita. Yesus menghendaki agar manusia khususnya para pengikut-Nya tidak mudah menilai dan menghakimi orang lain tetapi terbuka dan berani menilai atau mengevaluasi diri terlebih dahulu. Dengan kata lain, melihat ke dalam diri lebih dahulu. Itu penting dan sangat bermakna. Sebab dengan melihat diri, itu artinya kita melihat kekurangan dan kelebihan diri sendiri. Di dalamnya mungkin kita melihat masa atau sisi gelap kita yang sering susah kita terima. Jika kita berdamai dengan diri sendiri, menerima diri apa adanya dan bersyukur kepada Tuhan, maka berdamai dengan yang lain, menerima orang lain apa adanya, bersikap lebih positif, terbuka mengapresiasi orang lain akan menjadi lebih mudah. Sikap seperti itu penting untuk dibiasakan. Itu membuat diri kita lebih bijaksana. Dan jika kebijaksanaan itu ada maka kita mungkin juga menuntun orang lain menjadi bijaksana dan mampu menuntun orang berjalan secara lebih benar. Agama sepatutnya membuat manusia lebih bijaksana dan ‘dicahayai’ sehingga bisa hidup berdampingan dengan orang lain yang berbeda, bukan membuat manusia ‘buta’ dan tidak mampu menerima perbedaan yang ada.

Salam sehat dan salam sejahtera, P. Fioren Sipayung, OFMCap.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error

Enjoy this blog? Please spread the word :)