Makna di balik Kesia-siaan

Kerap kita mengeluhkan “amang tahe…marisuang do sude nahuula on” (untuk apa kubuat ini, toh sia-sia semuanya). Kitab Pengkotbah juga mengatakan hal yang senada, bahwa segala sesuatunya adalah kesiasiaan belaka.

Lantas, apa yang perlu dibanggakan kalau segala sesuatu adalah sia-sia. Semua usaha yang dilakukan dengan jerih payah tidak ada gunanya, toh semua adalah kesia-siaan. Dan lagi, tak ada yang baru di muka bumi ini, melainkan selalu hal yang sama dan yang terulang lagi dan lagi.

Haruskah hanya bergeming dan tanpa berbuat apa-apa?

Kesiasiaan yang dimaksud oleh Pengkotbah tidak berakhir pada nada pesimis itu karena ia masih mengakui kuasa Allah atas segala sesuatunya dan yakin bahwa Allah adalah pemberi kesenangan terbatas yang dirasakan, dialami dan dicari oleh manusia saat ini. Kesenangan yang berbatas itu memang tidak bernilai tetap atau kekal dan juga bukan keuntungan sesungguh tetapi sejauh ini, masih itu yang terbaik yang dapat dilakukan manusia. Kesadaran ini yang mengharuskan manusia itu takut akan Allah.

Untuk itu, segala sesuatu yang kita miliki baik itu kemampuan, pengetahuan, ketenaran, kuasa pun jabatan yang kita miliki akhirnya tidak akan bermakna dan bernilai bila tidak diarahkan pada sikap takut akan Allah yakni dengan mencari hingga setia pada kehendak-Nya.

Carilah dahulu Kerajaan Allah, semuanya akan ditambahkan kepadamu. Ketika sudah ditemukan, tentu sukacita itu akan menaungi hidup (mari bandingkan dengan perumpamaan tentang harta terpendam dan mutiara yang berharga). Inilah makna hidup sejati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error

Enjoy this blog? Please spread the word :)