Siapakah yang Terbesar itu? Sejenak bermenung dengan Bercermin pada Anak Kecil
Tugas dan tanggungjawab pelayanan kegerejawian diembankan kepada para Dewan Pastoral Paroki (DPP) St. Padre Pio Helvetia setelah dilantik pada Sabtu, 26 September 2020. Sikap apakah yang mesti dimiliki oleh para tenaga pastoral itu?
Mari sejenak bermenung lewat bacaan-bacaan hari ini.
Murid-murid kehilangan inti dari pemuridan karena ingin tahu siapa yang terbesar di antara mereka. Yesus mengambil seorang anak kecil dan mengatakan “Barangsiapa menerima anak ini …”.
Sikap yang ditunjukkan Yesus ini merupakan indikasi pemilihan, hak istimewa, yang diperluas pada saat seseorang menjadi seorang Kristen (Luk 10: 21-22). Mengapa anak kecil? Kebesaran apa yang dimiliki oleh anak kecil? Apakah kepolosan dalam pikiran, atau kerendahan hati yang dimiliki anak kecil?
Meskipun baik sikap yang dimiliki oleh anak kecil itu, sepertinya bukan ini yang hendak ditekankan oleh Yesus. Lebih tepatnya adalah sikap KETERGANTUNGAN (PENYERAHAN DIRI) dan MENERIMA. Seorang anak bergantung sepenuhnya pada orang dewasa (orang tua dan keluarganya) dan menerima seseorang untuk menjadi temannya dan sesuatu bila diberikan oleh orang lain. Jadi para murid-Nya sepenuhnya mesti bergantung, dalam iman, pada Kristus. Inilah kebesaran sejati ditemukan dalam persatuan dengan Allah karena kita telah diterima dan dipilih-Nya sehingga kita mesti bergantung sepenuhnya pada Dia dan menerima-Nya sebagai Mesias yang menderita nan mulia.
“Menjadi hebat atau besar” mesti diekspresikan dalam semangat “diakonia” (menjadi pelayan). Kita diterima oleh Kristus (mengambil anak) menjadi murid-Nya dan konsekuensinya kita memiliki karunia khusus untuk menerima-Nya (“siapa pun yang menerima anak, menerima Dia, Bapa”).
Dalam menggapai kebesaran itu, para pelayan kerap menanggung luka dan derita (mungkin kehadiran atau pengajaran tidak diterima, dll). Disinilah para pelayan atau pewarta ditantang untuk senantiasa menyandarkan diri pada kekuatan Allah.
Ayub dilukiskan sebagai orang benar yang bergumul dalam penderitaan yang menimpanya seraya mencari cara untuk bersikap yang tepat di hadapan Allah. Dia tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat kurang adil atas kehidupan yang terjadi padanya, melainkan dia sampai pada “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!”
Aktivitas pewarta dan pelayan harus dalam pelayanan kasih kepada Tuhan dan sesama serta tidak untuk meningkatkan ketenaran atau kemasyhuran pribadinya, atau untuk menyatakan kepercayaan dan interpretasi yang menyimpang.
St. Padre Pio, mengingatkan dan mengajak kita untuk, “Berdoalah, Berharaplah dan Jangan Khawatir”. Semoga !!!!
Benar sekali,,yang mau melayani dengan rendah hati dan tulus, itulah yang terbesar sebenarnya.