SEJARAH PAROKI SANTO PADRE PIO*
I. Konsep PAROKI TRISTASI
“Roh Kudus melayang-layang di permukaan air”, secuil kisal penciptaan. Demikianlah juga terjadi perjalanan stasi-stasi ini di bawah sentuhan gembala-gembala tertahbis maupun oleh gembala-gembala non tertahbis, dengan sentuhan buah studi dan dengan sentuhan pengalaman iman umat sederhana. Simaklah bagaimana perjalanan paroki ini sebagai berikut.

Pada tanggal 1 Januari 1985, P. Johanes Veldkamp memulai pelayanannya, walaupun beliau juga menjabat Ekonom KAM. Menurut penuturannya, ketiga stasi cukup berbeda satu sama lain. Stasi St. Yosef, Sei Sikambing merupakan stasi paling tua. Persatuan dan kesatuan antara umat perintis dan umat yang datang kemudian masih terus diperjuangkan.
Setelah gereja baru di Jln. Kemuning Raya, Perumnas Helvetia dibangun, jumlah umat bertambah pesat. Mereka datang dari segala penjuru dan dari segala suku serta pekerjaan. Rasa kesatuan dan kebersamaan umat masih rendah. Stasi St. Maria Cinta Damai terdiri dari pelbagai suku, yang kadangkala menjadi pemicu keretakan relasi antar pribadi. Lagi, masa bakti para petugas belumlah diatur dengan periodisasi. Para pengurus memang menjalankan tugas dengan kehendak baik (dengan keterbatasan pengetahuan agama dan keterampilan pastoral ala kadarnya). Otomatis, kalau orang terlalu lama dalam posisi tertentu, bisa tidak berubah baik dalam pelayanan dan dalam pembaharuan.
Maka pertama-tama Pastor Veldkamp mulai menjajaki dan melaksanakan periodisasi pengurus. Syukurlah, pemilihan itu tidak menimbulkan masalah dan pengurus baru didukung oleh pengurus lama dan umat.
Dalam semangat itu juga gereja baru di St. Yosef Sei Sikambing diupayakan untuk dibangun karena gereja lama terlalu kecil. Pastor PME sudah mulai mengumpulkan dana dari umat, tetapi hasilnya masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dan standard keuskupan. Bisa dipahami bahwa pembangunan gereja baru macet. Namun pengurus Stasi St. Yosef Sei Sikambing pada bulan Oktober 1985 nekat meletakkan batu pertama gereja baru, untuk merangsang mengalirnya dana dari umat. Hasilnya, dana yang pada kesempatan peletakan batu pertama itu lumayan besar, hingga pembangunan gereja langsung dapat dilanjutkan di bawah pimpinan Br. Victricius van den Berg. Pada hari Kenaikan 1986, umat mulai beribadat di situ dan diberkati bulan Juli 1987.
Walaupun ketiga stasi ini semakin menyatu dan membentuk satu paroki, tetapi secara administratif masih tercatat di dua paroki. Data Permandian dan perkawinan masih dicatat di dua paroki Induk (Katedral dan St. Antonius Hayam Wuruk). Maka, Pastor Paroki memohon kepada Keuskupan agar ketiga stasi itu dimekarkan menjadi paroki tersendiri. Hal itu dikabulkan tahun 1988. Karena mudika sudah dua kali mengadakan Tristasi-Cup, maka nama paroki baru itu pun ditabalkan menjadi “Tristasi”. “Saya tidak ingin satu gereja disebut gereja induk dan kedua yang lain gereja stasi”, dalih Pastor Veldkamp waktu itu. Dengan semangat itu dibentuklah Dewan Paroki, dimana ketiga stasi terwakili. Pada bulan Oktober 1988, Paroki Tristasi disahkan dan Dewan Paroki pun dilantik.
Paroki Tristasi terletak di pinggiran kota Medan. Dengan bertambahnya penduduk, bertambah juga jumlah umat Katolik. Tahun 1985 jumlah umat Katolik berkisar 3.500 orang, tahun 1994 sudah sekitar 6.500 orang. Pada Tahun 1992 satu stasi lagi bertambah yakni St. Petrus, Purwodadi. Pada waktu itu sudah dibeli juga tanah di Sukadono, untuk persiapan pembangunan Gereja St. Yakobus, Sukadono.
P. Veldkamp melayani paroki hanya hari Sabtu sore dan Hari Minggu. Selain untuk merayakan sakramen, beliau memberikan banyak perhatian kepada Dewan Paroki dan pengurus stasi: di tangan merekalah kehidupan paroki. Selain itu juga diberi perhatian khusus kepada Mudika, di antaranya mendukung Tristasi Cup, Rawil Cup, piknik rohani ke Berastagi, dll.
Walau beliau dengan senang hati melayani umat Paroki Tristasi, semua tugas di Keuskupan mulai mengatasi kemampuannya. Lagi pula rasanya perlu seorang pastor yang purnawaktu melayani paroki yang begitu pesat berkembang. Karena itu beliau memohonkan ke Bp. Uskup agar melepaskannya dari tugas sebagai pastor yang purnawaktu di paroki Tristasi. Maka, mulai bulan Juli 1994 beliau digantikan oleh P. Jan Van Maurik.

Setelah berkarya selama 8 tahun (1987-1995) di Paroki Pakkat, P. Jan van Maurik menginginkan suatu perubahan dalam hidupnya sebagai pastor. Selama cuti di Negeri Belanda, beliau diundang oleh pastor paroki kampung kelahirannya untuk melihat-lihat karya pastoral paroki itu. Waktu itu, beliau sangat terkesan dengan perhatian yang diberikan kepada umat sebagai pribadi. Di Pakkat, beliau biasanya memperhatikan pastoral kelompok/massa. Banyak perhatian diberikan kepada kelompok-kelompok (para pengurus, para kelompok tani, stasi-stasi, proyek-proyek bersama masyarakat, dsb). Beliau tetap ingat apa yang sering terjadi jika beliau mengunjungi seseorang di kampung: para tetangga datang dan nimbrung, ingin tahu, sedangkan di paroki Lubuk Pakam, kesan itu terbalik: suasana kota/individu terjadi di stasi induk, dan suasana kebersamaan terjadi di stasi-stasi luar Gereja induk. Maka beliau sangat senang, ketika pimpinan menawarkannya berkarya di paroki Tristasi yang ditinggalkan oleh P. Johannes Veldkamp. Beliau telah menggagasi paroki gaya baru itu. Namanya mencerminkan sebuah program: paroki ini bukan tergantung pada seorang pastor yang tinggal di pusat paroki, tetapi pada umat yang berada di stasi-stasi. Dalam konsep “Tristasi”, umat yang ada di tiga stasi adalah pusat perhatian.
Memang beliau menjadi pastor paroki yang purna waktu yang utama, tetapi pusat paroki tetap di stasi-stasi itu. Dari tahun 1995 sampai dengan 1998, beliau tinggal di luar wilayah paroki (di pastoran Hayam Wuruk). Pada waktu itu pula diserahkan tugas kepadanya untuk mengawasi pembangunan baru sebuah biara Kapusin dengan fasilitas/kantor dan aula Paroki Tristasi. Pada tahap awal, beberapa saudara kapusin menyewa sebuah rumah di Jln. Pembangunan, gang Dame Helvetia dimana pastor paroki ditemani oleh P. Benyamin A.C. Purba (direktur utama PT. Bina Media Perintis pada waktu itu), P. Augustinus Yew. Mereka tinggal bersama masyarakat, tidak terasing dari masyarakat.
Waktu P. Veldkamp menyerahkan reksa pastoral paroki Tristasi (1994) kepada P. Jan van Maurik, stasi baru St. Petrus Purwodadi (1990) sudah ada. Walaupun stasinya sudah empat, namun nama paroki tetap masih dipertahankan, karena nama itu menyatakan suatu pandangan. Waktu gereja Stasi St. Jakobus didirikan (nomor 5), nama paroki juga tetap masih Tristasi.
Salah satu segi yang menarik dari Paroki Tristasi pada waktu itu ialah tersedianya SDM yang kaya. Itu terasa di segala bidang, mulai dari personalia Dewan Paroki. Selalu ada tukar-menukar pikiran di antara pastor dan para anggota Dewan Paroki. Pastor sangat dihormati dalam pendapatnya, tetapi untunglah, para Dewan Paroki juga tidak tinggal diam. Dan beberapa anggota bahkan memberikan sumbangsihnya dalam pengembangan pikiran Dewan Paroki di tingkat KAM.
Kekayaan SDM ini bukan hanya nampak di Dewan Paroki. Pimpinan stasi-stasi masing-masing tetap cukup mantap sehingga sangat meringankan beban kerja pastor paroki. Berkat SDM yang kaya itu juga tidak terlalu sulit untuk mendirikan suatu Perkumpulan Simpan Pinjam dengan sisipan kata “Mandiri”. Karena itu dengan harapan umat tidak perlu lagi pinjam uang kepada pastor atau paroki. Umat sendiri sanggup menyediakannya melalui koperasi. Alangkah baik jika pastornya tetap ikut serta di dalamnya untuk mendampingi karya teman-teman pengurus.
Walaupun dari tahun ke tahun jumlah umat berkembang (dan dengan itu juga jumlah stasi), namun pastor paroki masih menyisihkan waktu untuk tugas-tugas non-parokial, seperti menjadi anggota Yayasan St. Thomas, moderator dari Kumpulan Warakawuri St. Monika KAM. Ada juga waktu untuk mengunjungi Lembaga Pemasyarakatan, mengunjungi orang-orang sakit, dan menemani organisasi Pasukris. Pastor Hubert Tamba memulai kegiatan itu ketika untuk sementara waktu beliau menggantikan Pastor Veldkamp (Juli 1994-Februari 1995) yang menjalani cuti ke Belanda.
II. MENJADI PAROKI PADRE PIO
Seperti cerita di atas, cukup lama Paroki ini tidak punya pusat Paroki tersendiri sebagai tempat pastor paroki. Perayaan Ekaristi dirayakan hanya 2 kali sebulan, dan selebihnya liturgi sabda dirayakan. Pada tahun 2002, pastor paroki adalah P. Ignatius Simbolon, OFMCap. Beliau berdomisili di Biara Kapusin Emmaus, Jln. Beringin III, No 9 dan sekaligus menjadi Gardian (pimpinan) persaudaraan Post Nopisiat. Di biara yang sama, saudara yang bekerja di karya kategorial, yakni P. Leo Sipahutar, OFMCap, sebagai Rektor Unika dan P. Benyamin A.C. Purba OFMCap sebagai direktur Bina Media. Pastor tidak lagi tinggal di rumah kontrakan di gang Dame tapi sudah di biara Kapusin yang baru yakni biara Emmaus, tempat pendidikan Post Nopisiat dan perawatan. Dengan perubahan dan juga dengan hadirnya beberapa pastor, peta pelayanan bergeser dan sungguh berubah.

Jumlah saudara kapusin pun bertambah di biara Emmaus. Beberapa imam dan sejumlah frater-frater post nopis hadir dan tinggal di sana. Dengan itu gaya pelayanan sungguh berubah dan kedekatan pastor paroki dengan umat semakin terasa. Jumlah imam pun menyakinkan. Nama paroki sebelumnya masih tri stasi walau stasinya sudah menjadi “five stasi”, dengan Stasi St. Petrus, Purwodadi, yang dimekarkan dari Stasi St. Maria Ratu Pencinta Damai dan St. Yakobus, Sukadono yang dimekarkan dari Helvetia. Nama Tri Stasi diganti menjadi “Paroki Padre Pio”, namun tetap tanpa gereja induk sebagaimana paroki-paroki yang lain di KAM.
Perayaan Ekaristi yang dulunya hanya 2 kali sebulan menjadi setiap minggu. Inilah suatu anugerah yang luar biasa dialami oleh umat Allah. Karakter atau mental perkotaan dan idealisme hidup sebagai umat Katolik, menuntut bahwa semestinya tiap hari minggu umat merayakan Ekaristi sebagai hari perayaan misteri paska, puncak sejarah keselamatan. Selain misa mingguan, juga misa harian dan misa khusus untuk generasi muda selalu dirayakan di kapel biara. Penampilan Paroki makin mantap dan meyakinkan.
Paroki pada masa ini sungguh memperhatikan dan memprioritaskan pertumbuhan Komunitas Basis (Kombas) gerejani di lingkungan-lingkungan. Untuk itu, salah satu jalan atau cara ialah pemekaran lingkungan agar komunitas semakin kecil, demi terciptanya ikatan batin atau relasi persaudaraan yang kuat di antara umat. Katakese berkaitan dengan Kombas ini terus dikembangkan. Hasilnya cukup menggembirakan, karena jumlah umat di lingkungan makin banyak dan jumlah umat ke gereja pun bertambah pesat.
Memang OMK (Orang Muda Katolik) di semua stasi tetap digalakkan tetapi kegiatan-kegiatan masih sangat terbatas. Kegiatan mereka masih musiman, yakni perayaan Natal atau pada saat pertandingan. Kurang tersedianya Pembina yang terampil untuk kaum remaja menjadi tantangan tersendiri.
Sebagai cita-cita, Gereja Mandiri, yakni pemberdayaan kemampuan umat dan tanggungjawab atas kebutuhan finansial gereja. Dari awal kegiatan pastoralnya, pengelolaan keuangan diserahkan parokus kepada bendahara untuk menyampaikan laporan ke Keuskupan dan laporan kepada peserta sidang bulanan. Memang diakui peranan awam cukup tinggi di paroki ini. Pastor paroki menyadari bahwa yang menjadi teman dan bahkan jadi ujung tombak untuk menggembalakan umat di paroki ini adalah pemuka jemaat tak tertahbis di semua tingkatan sampai ke akar rumput. Mereka diberdayakan semaksimal mungkin dengan katakese yang cukup melalui “dosen-dosen Kapusin dari Siantar” dan Pastor Paroki sendiri selalu membuat pembinaan dan kegiatan untuk memperdalam, memperluas, menyegarkan pemahaman serta pengalaman mereka sebagai pemuka jemaat.
Dari satu pihak bahwa perbedaan suku atau kelompok etnis di paroki ini menjadi suatu potensi besar. Nampak bahwa Katolik itu sungguh bermutu sebab kendati berbeda latar belakang adat budaya, namun bisa tetap kompak dan bersaudara. Pelayanan misa requiem dan arwah pun menjadi kekuatan dan hiburan besar bagi umat yang mengalami duka. Umat bisa mengalami perbedaan pelayanan dari yang dulu. Saat-saat seperti ini, pastor paroki hadir dan bisa melayani dengan baik. Umat sungguh merasakan itu dari kesaksian mereka. Doa lingkungan sudah berjalan baik. Pembinaan kaum awam tetap menjadi prioritas. Pembinaan menyangkut segala lapisan umat, terutama di tingkat DPP dan DPS. Memang begitu luas lahan pembinaan kaum awam itu dan seharusnya harus berani memilih salah satu. Pembinaan disadari belumlah sistematis, namun tetap ada kemauan keras untuk memperkaya pembina di setiap seksi di DPP/DPS. Sistematisasi diadakan dan itu berarti ada deskripsi tujuan, bahan pembinaan, pembina atas pembina, syarat peserta bina, output yang diharapkan dan pengalokasian dana untuk itu. Tolak ukur untuk penilaian belum didefinisikan, karena hanya sedikit yang bersedia mengikuti pembinaan. Dengan kata lain, pembinaan berkelanjutan (beberapa hari seperti program di PPU Pematangsiantar) belum bisa terlaksana. Prinsip utama bagi DPP pada waktu itu ialah tidak ada alasan menolak pembinaan, terutama pembinaan untuk pembina.
Tentu perhatian tidak hanya tertuju kepada pembina saja. Pembina itu berguna, apabila lahannya terbuka di antara umat. Kedekatan dana bersama umat pun merupakan salah satu bentuk pastoral yang dikembangkan. Imam ditahbiskan dari umat dan untuk umat. Sejauh mungkin imam itu mengabdi kepada umat, hingga domba-dombanya mendengar ajakan gembalanya. Domba-domba harus merasa nyaman. Kehadiran gembala menjadi inspirasi bagi umat di kala sedih maupun di kala gembira. Domba itu sejauh perlu bebas mencurahkan isi hatinya kepada gembalanya.
Kehadiran imam di antara umat pada misa requiem sungguh meringankan beban yang mengalami kehilangan anggota keluarga. Misa requiem ini telah ditawarkan para pendahulu P. Agustinus Saragih, tetapi beliau menegaskan makna misa requiem sebagai kekayaan tradisi gereja. Pada umumnya, umat di lingkungan datang untuk perayaan misa requiem itu. Selain itu, imam juga hadir pada syukuran pesta pelindung. Pesta pelindung lingkungan memang dipromosikan oleh Komisi Liturgi KAM beberapa tahun terakhir. Kebiasaan itu merupakan ungkapan iman akan kekayaan rahmat Tuhan yang diterima oleh tokoh-tokoh iman dalam gereja. Makna pesta pelindung masih belum dirasakan umat; selain alasan bertemu satu sama lain dan bertemu dengan imamnya. Sebenarnya, peristiwa iman itu sangatlah bagus untuk peneguhan kebersamaan, walaupun tujuan perayaan orang kudus belum tercapai untuk saat ini. Ada suatu keyakinan bahwa suatu waktu nanti, umat akan merasakan makna pesta pelindung untuk Paroki, stasi dan lingkungan.
Roda organisasi pastoral seperti dituliskan dalam Anggaran Dasar Paroki merupakan sarana perjumpaan imam dan domba-dombanya. Perjumpaan rutin antara pastornya dan perwakilan umat di DPPH sungguh saling meneguhkan dan merupakan saat pertemuan untuk tukar pengalaman iman dalam penggembalaan umat, dan apabila diperlukan, diadakan mengambil keputusan atau kebijakan bersama. Pertemuan bulanan sungguh merupakan kesempatan untuk menyampaikan aspirasi umat dan aspirasi gembalanya.
Satu hal yang menarik dalam susunan DPP di Paroki Padre Pio ialah bahwa semua ketua DPS masuk dalam keanggotaan DPP. Selain itu, tercipta sebuah pertemuan ‘arisan’ di luar rapat resmi, yakni kunjungan DPP ke rumah masing-masing anggota DPPH. Ini dilakukan setiap bulan. Kesempatan ini pun sadar tak sadar sangat membantu DPP untuk saling meneguhkan, terutama dihadiri oleh pasangan masing-masing. Demikianlah terjadi pembinaan tidak langsung.
_______________________
* Disadur ulang dari buku P. Benyamin A.C. Purba, OFMCap, Mengasah Batu Mendulang Permata: Catatan Sejarah dan Proyeksi ke depan, hlm.9-16.