TIADA KEMENANGAN TANPA KURBAN
Mat 21:1-11; Yes 50:4-7; Mzm 22:8-24; Flp 2:6-11; Mat 27:14-27:66; (Singkat: 27:11-54)
Kita sedang memasuki Pekan Suci. Kita akan merenungkan ”Misteri Paskah”, yaitu perjalanan dari kematian menuju kehidupan yang adalah inti dari iman kita.
Di Minggu Palma ini, kita memperingati Kristus yang memasuki pintu gerbang Yerusalem dengan mengendarai seekor keledai. Yesus menuju Yerusalem hendak menyempurnakan karya keselamatan bagi manusia lewat penderitaan, salib, kematian dan kebangkitan. Orang – orang Yahudi telah tahu bahwa raja yang diberitakan nabi Zakaria akan datang (Zak 9:9; Mat 21:5). Penduduk Yerusalem menyambut-Nya dengan sorak sorai dan berkata ”Hosana di tempat yang mahatinggi!” (Mat 21:9). namun sayangnya orang – orang yang mengelu – elukan Yesus ini, beberapa hari kemudian berbalik menghujat-Nya dengan berseru ”Salibkanlah Dia!”. Mereka belum mengerti rencana Allah dan belum mengenal Yesus yang adalah Raja Cinta yang rela berkurban.
Harapan rakyat Yahudi tidak terpenuhi ketika mereka melihat Yesus tidak menampilkan diri-Nya sebagai raja yang dinantikan. Sejatinya Yesus yang mereka elu – elukan itu bukanlah raja seperti biasa di dunia ini. Yesus adalah Raja yang rendah hati dan rela menderita, berkurban untuk sesama-Nya. Tentang Raja yang rendah hati dan rela berkurban inilah yang kita renungkan hari ini.
Tampilnya Yesus di tengah – tengah manusia sebenarnya sudah dilukiskan nabi Yesaya. Dikatakan bahwa seorang hamba Allah yang telah menjalani hidup dengan suatu keyakinan kokoh bahwa derita dan kesengsaraan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan. Dia sungguh percaya bahwa biarpun itu sungguh berat dan menguras banyak tenaga dan menuntut pengurbanan diri sendiri, namun dia tak pernah menyerah kalah, karena yakin bahwa Allah sendiri menjadi andalan dan kekuatannya. Bertahan dalam penderitaan itulah jaminan kemenangan, sebab Allah tidak pernah meninggalkan orang yang bersengsara.
Hamba Allah itu sadar dan pasrah akan tugas-Nya yakni: menghibur orang yang letih lesu, mendengar sabda Allah dengan penuh perhatian, agar dapat hidup sesuai dengan panggilan surgawi dan menjadi pahlawan penderitaan: merelakan punggung dipukul, pipi ditampar, wajah dicerca dan dinista (Yes 50:4-7). Ketahanan hamba Allah dalam derita dan sengsara seperti digambarkan oleh Yesaya terwujud secara sempurna dalam diri Yesus Kristus ”yang merendahkan diri-Nya dengan taat sampai mati, bahkan sampai mati di salib” (Flp 2:8).
Sifat khas dari kehidupan Yesus ialah kerendahan hati, ketaatan dan penghampaan diri. Dia tak pernah ingin menguasai manusia, tetapi hanya ingin melayani; tidak pernah mau mengikuti jalan-Nya sendiri, tetapi hanya mau mengikuti jalan dan rencana Bapa-Nya sebagaimana kita saksikan bila kita mendengar kisah sengsara Tuhan kita Yesus Kristus. Yesus tidak pernah ingin meninggikan diri, tetapi hanya mau melepaskan segala kehormatan-Nya demi kepentingan manusia. Hanya manusia yang rela direndahkan akan ditinggikan (Mat 23:12)
Bila kerendahan hati, ketaatan dan penghampaan diri merupakan sifat Kristus yang khas dan utama, maka orang kristen mencoba menghayati hidupnya dalam perjuangan, kegagalan, kegembiraan dan kebahagiaan, dengan sikap seperti terdapat pada Yesus Kristus. Mementingkan diri sendiri dan pencapaian diri merupakan kemalangan yang menghancurkan kebahagiaan. Seperti Yesus, yang dengan penghampaan diri dan pelayanan tanpa syarat dimuliakan oleh Bapa dan mendapat nama baru ”Tuhan penguasa segala”, demikian juga setiap pengikut Kristus yang selalu melayani dan memperhatikan kebahagiaan orang lain akan dijamin keselamatannya.
Hamba Allah, Yesus Kristus yang menderita sampai mati disalib oleh santo Matius dipandang sebagai perwujudan rencana Allah seperti yang diwartakan nabi – nabi. Yesus telah menerima penderitaan dan kematian dengan rela hati. Ia bersedia menempuh hidup ini dengan sikap pasrah. Dengan menanggung sengsara dan derita, Yesus mampu menyatakan kasih yang menyelamatkan. Kenyataan bahwa Yesus mengalahkan maut dengan penderitaan dan wafat di salib menunjukkan bahwa kita dapat berbahagia dan selamat hanya melalui sengsara dan kematian. Maka marilah kita berusaha meneladani Yesus yang rendah hati, taat kepada Bapa-Nya, setia dan rela menderita untuk sesama-Nya.
Dalam memasuki Pekan Suci ini, kita diingatkan bahwa segala sesuatu yang baik yang ada pada kita, semuanya adalah pemberian Allah. Segala keberhasilan di dalam kehidupan kita – baik dalam keluarga, pekerjaan dan pelayanan janganlah membuat kita jatuh dalam dosa kesombongan. Mari kita merendahkan diri di hadapan Allah yang Maha Tinggi, dengan sikap jujur mengakui bahwa kita ini bukan apa – apa di hadapan-Nya namun Allah adalah segalanya bagi kita.
Dari Biara Kapusin Helvetia Medan, saya RP. Albertus Pandiangan, OFMCap menyampaikan kepada kita semua salam damai dan sukacita. Selamat memasuki Pekan Suci. Tuhan memberkati kita semua. Amin.